Beranda | Artikel
Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 2): Keutamaan dan Rukun Hikmah
Senin, 9 Oktober 2023

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Keutamaan hikmah

Hikmah memiliki keutamaan yang banyak, di antaranya:

Hikmah termasuk sebab dan sarana terpenting dalam berdakwah ilallah

Oleh karena itu, Allah perintahkan Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap hikmah dalam berdakwah mengajak manusia kepada-Nya. Allah berfirman,

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ

“Dakwahilah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)

Bersikap hikmah berarti mengikuti sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

Sehingga didapatkan keberkahan, keselamatan dari kesalahan, dan lebih mudah diterima oleh objek dakwah. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا 

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari Akhir dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Barangsiapa yang diberi hikmah, berarti ia mendapatkan kebaikan yang banyak

Allah Ta’ala berfirman,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269)

Hikmah adalah isi doa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu

Dengan sebab doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menjadi salah satu ulama tafsir di kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Ibnu Abbas,

اللَّهُمْ عَلَّمْهُ الْحِكْمَةَ

“Ya Allah, ajarkanlah hikmah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)

Hikmah adalah salah satu perkara yang seseorang terpuji jika hasad terhadapnya

Dalam Shahihain, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا حَسَدَ إِلا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada hasad (yang terpuji), kecuali pada dua perkara: 1) seseorang yang Allah beri harta, lalu ia infakkan semua di jalan Allah dan 2) seseorang yang Allah beri hikmah, lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya (kepada manusia).’

Baca juga: Hikmah Penciptaan Jin dan Manusia

Rukun hikmah

Hikmah memiliki tiga rukun. Ketiga rukun ini adalah pilar-pilar penegak sikap hikmah dalam berdakwah.

Rukun pertama: Ilmu syar’i

Rukun pertama adalah ilmu syar’i, yaitu Al-Qur’an dan hadis dengan pemahaman dan pengamalan salaf saleh.

Ilmu syar’i adalah rukun hikmah yang terbesar di antara tiga rukun hikmah. Oleh karena itu, Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berilmu syar’i sebelum berucap dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman,

فَأَعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Maka, ilmuilah (ketahuilah), bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin pria dan wanita.” (QS. Muhammad: 19)

Dalam ayat ini,

فَأَعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Maka, ilmuilah bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah.”

Allah perintahkan untuk berilmu syar’i, sebelum beramal saleh.

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin pria dan wanita.”

Hal ini menunjukkan bahwa berilmu syar’i lebih didahulukan daripada beramal saleh. Karena ilmu syar’i itu syarat kesahan amal saleh baik berupa ucapan dan perbuatan termasuk amal saleh berupa bersikap hikmah dalam berdakwah ilallah, semua itu tidaklah mungkin terwujud kecuali dengan berilmu syar’i terlebih dahulu.

Orang yang hikmah/bijak dalam berdakwah itu mempertimbangkan sesuatu dari segala sisi dengan matang, menilai serta mendasari segala sesuatu dengan ilmu syar’i (Al-Qur’an dan as-sunah). Dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari Kitab dan sunah serta pemahaman salaf saleh. Inilah orang yang bijak dan hikmah yang sesungguhnya.

Mustahil bijak apabila seseorang menyelisihi Al-Qur’an dan as-sunah dengan manhaj salaf saleh, sebagaimana mustahil disebut bijaksana jika tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan as-sunah dengan manhaj salaf saleh.

Orang yang ingin bijak dalam dalam berdakwah, haruslah berilmu syar’i, harus belajar Al-Qur’an dan as-sunah dengan manhaj salaf saleh, dan harus mengamalkannya. Sehingga benar ucapan dan perbuatannya, tepat materinya, caranya, sasarannya, kondisinya, waktunya, tempatnya, haknya, urutannya, serta tepat dalam segala halnya.

Dari sinilah terlihat jelas kekeliruan sebagian da’i yang tidak belajar ilmu tauhid atau tidak mengajarkannya kepada masyarakatnya. Padahal, ilmu Tauhid adalah ilmu syar’i yang teragung dan perintah Allah yang paling penting .

Bagaimana seorang da’i bisa disebut bersikap hikmah dalam dakwahnya, jika ia tidak mempelajari dan mengajarkan tauhid dan tidak mengajak masyarakat untuk bertauhid, justru ikut larut ke dalam adat istiadat masyarakat yang berbau kesyirikan dengan dalih bersikap hikmah dalam berdakwah! Jelas ini salah, bahkan menyelisihi rukun bijaksana/hikmah terpenting, yaitu menyelisihi ilmu syar’i teragung, yaitu ilmu tauhid!

Rukun kedua: Al-hilmu (tenang)

Hilm itu tenang, karena pandai menahan dan mengendalikan diri, tidak mudah terpancing emosi saat menghadapi hal-hal yang tidak disukai.

Hilm itu sikap moderat/tengah-tengah antara cepat emosi dan cuek masa bodoh, gak peduli.

Hilm itu sikap yang dibutuhkan seorang da’i saat terpancing emosinya atau saat menghadapi perkara yang tidak disukainya.

Rukun ketiga: Al-anah (berhati-hati dengan pertimbangan matang)

Al-anah itu sikap moderat/tengah-tengah antara terburu-buru sebelum waktunya dan berlambat-lambat padahal sudah datang waktunya. Seorang da’i yang memiliki sifat anah itu suka berhati-hati mempertimbangkan akibat suatu perkara yang dihadapinya dengan matang, tidak grusa-grusu, konfirmasi, dan tabayyun dulu, dicek dulu kebenaran sebuah berita dan dipertimbangkan dulu akibatnya jika ingin melangkah, sehingga bersikap dengan pertimbangan matang. Barangsiapa yang suka terburu-buru dalam berdakwah ingin segera memetik buahnya sebelum waktunya, justru biasanya malah gagal mendapatkannya, bahkan mendapatkan kebalikan yang diharapkan, merusaknya lebih besar daripada membangunnya.

من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه

Barangsiapa yang terburu-buru sebelum waktunya, maka justru akan terhalangi dari mencapai keinginannya.

Sebaliknya, barangsiapa yang berlambat-lambat malas berdakwah, maka ia akan terluput dari hasil dakwah yang diridai Allah.

Maka, seorang da’i yang suka berhati-hati mempertimbangkan sesuatu dari segala sisi dengan matang, inilah da’i yang hikmah/bijak!

Ia akan bersegera bertindak jika memang berdasarkan pertimbangan yang matang, tuntutannya segera bertindak. Iaakan menunda bertindak jika memang berdasarkan pertimbangan matang, ia perlu menundanya.

Dalil sikap tenang (hilm) dan suka berhati-hati (anah)

Al-Asyaj radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dia berbeda dengan sikap teman-temannya saat sampai ke kota Madinah. Mereka langsung menemui beliau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa mengganti pakaian safar mereka dan tanpa mempersiapkan diri sebagaimana mestinya, karena demikian inginnya segera melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Namun, tidaklah demikian dengan Al-Asyaj radhiyallahu ‘anhu. Dengan tenangnya, ia mengganti baju safarnya dengan baju yang indah, mempersiapkan diri dengan baik sebelum menemui beliau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Atas sikap tenangnya, tidak terburu-buru dan berhati-hatinya itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memujinya,

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

“Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang Allah cintai: sikap tenang (hilm) dan suka berhati-hati (anah).” (HR. Muslim)

Kembali ke bagian 1: Definisi dan Keutamaan Dakwah Ilallah

Lanjut ke bagian 3: (Bersambung, insyaAllah)

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah


Artikel asli: https://muslim.or.id/87798-keutamaan-dan-rukun-hikmah.html